










(Jakarta, ISC): Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) memiliki peran krusial dalam memastikan terciptanya pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Agar dapat menjalankan tugas pengawasan secara efektif, APIP seharusnya berdiri independen dan sejajar dengan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya.
Demikian ditegaskan oleh Dr. Drs. Abdur Rahman Sabara, MS.IS., MH. Hal tersebut disampaikan Anggota Bidang Politik ISC, yang juga Pengawas Pemerintah Urusan Pemerintahan di Daerah, ini dalam acara Diskusi Publik bertema “Aparat Pengawas Internal Pemerintah: Mampukah Menjadi Penahan Maladministrasi dan Karopusi?” di Sekretariat IKAL Strategic Center (ISC), Jakarta, 20 Februari 2025.
Diskusi publik ini dibuka oleh Wakil Ketua I ISC Prof. Drs. Adrianus Eliasta Meliala, MSi., MSc, Ph.D. Acara ini juga disiarkan secara online, dan yang hadir offline antara lain Wakil Sekretaris ISC Dr. Dra. Nieta Hidayani, MBA., MM, juga Wakil Ketua Bidang Sosialisasi, Komunikasi dan Kerja Sama ISC Dipl. Ing. Lily Si. Wasitova. Adapun yang tampil sebagai pembicara dalam dikusi publik ini selain Dr. Drs. Abdur Rahman Sabara, MS.IS., MH., adalah Robert Na Endi Jaweng, MAP. ( anggota Ombudsman), dan Iwan Agung Prassetyo, Ak., M.EcDev., PhD. (Kapusbin JFA Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan), dan Dr. Drs. Abdur Rahman Sabara, MS.IS., MH.
Selanjutnya Dr. Drs. Abdur Rahman Sabara memaparkan bahwa APIP punya posisi independen sangat penting untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan, yang berpotensi mengganggu objektivitas dan integritas proses pengawasan. “Terutama ketika APIP berada di bawah kendali kepala daerah, risiko untuk terjadinya ketidakseimbangan kekuasaan dan tekanan politik menjadi sangat tinggi, sehingga menghambat kemampuan APIP dalam melakukan audit dan evaluasi secara objektif terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah itu sendiri,” jelasnya.
Dr. Sabara juga mengingatkan bahwa sangat penting untuk memperkuat regulasi yang menjamin posisi APIP sejajar dengan lembaga lainnya dalam struktur pemerintahan. Ini bukan hanya untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas fungsi pengawasan, tetapi juga untuk menegakkan prinsip-prinsip dasar tata kelola pemerintahan yang baik. “Tanpa adanya jaminan kelembagaan yang memadai, APIP akan terus kesulitan dalam menjalankan perannya, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kualitas pemerintahan dan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi di daerah,” Dr. Sabara.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, pembicara berikutnya Robert Na Endi Jaweng, MAP., yang jugaanggota Ombudsman menegaskan bahwa pengawasan yang efektif tidak hanya bertujuan untuk memastikan keberlanjutan dan efisiensi program pemerintah, tetapi juga untuk mengidentifikasi potensi praktik korupsi. Salah satu cara untuk memperkuat fungsi pengawasan adalah melalui reformasi kelembagaan yang memberikan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) kewenangan yang lebih luas.
“Dengan memberikan APIP akses langsung terhadap aparat penegak hukum dan lembaga antikorupsi, mereka akan memiliki sumber daya yang lebih besar untuk mengidentifikasi dan menangani kasus-kasus korupsi secara lebih efisien. Kewenangan yang lebih luas ini juga akan memungkinkan APIP untuk mengawasi kebijakan dan kegiatan pemerintahan dengan lebih tajam dan menyeluruh,” ujar Robert Na Endi Jaweng .
Sedangkan pembicara berikutnya, Iwan Agung Prassetyo, Ak., M.EcDev., PhD., yang juga Kapusbin JFA Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan, menjelaskan bahwa APIP memiliki peran penting dalam mencegah dan mengungkap praktik korupsi dalam pemerintahan. Namun, dalam praktiknya, APIP masih menghadapi berbagai tantangan yang membuat fungsinya belum optimal.
Menurutnya, salah satu masalah utama adalah keterbatasan kewenangan dan sumber daya yang dimiliki, yang membatasi kapasitas mereka untuk melakukan pengawasan yang lebih mendalam dan menyeluruh. “Struktur kelembagaan yang tidak sepenuhnya independen dari kepala daerah atau pimpinan instansi juga sering kali mempengaruhi objektivitas APIP dalam menjalankan tugasnya. Hal ini berpotensi mengarah pada konflik kepentingan dan ketidakmampuan untuk mengawasi kebijakan atau kegiatan yang mungkin melibatkan praktik korupsi,” imbuh Iwan Agung Prassetyo. * (Humas ISC)