Revisi UU Migas No.22 Tahun 2001 Dibutuhkan Demi Menuju Ketahanan Nasional

(Jakarta, ISC): Ketahanan energi merupakan elemen kunci dalam menjaga stabilitas dan kedaulatan suatu negara. Energi tidak hanya menjadi kebutuhan ekonomi sehari-hari, tetapi juga memainkan peran strategis dalam keamanan nasional. Ketika ketahanan energi melemah, negara rentan terhadap gangguan suplai yang dapat menyebabkan instabilitas dalam berbagai sektor, termasuk sosial, ekonomi, dan politik.

Demikian diingatkan oleh Ketua DPP IKAL Lemhannas Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar ketika menjadi keynote speaker dalam acara Forum Grup Discusion (FGD), di Hotel Grand Orchard, Kemayoran, Jakarta, Kamis (17/10/2024). Acara hasil kerja sama IKAL Strategic Center (ISC) dengan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPBB) ini mengusung tema tema “Urgensi Revisi UU Migas No.22 Tahun 2001 Menuju Ketahanan Nasional.” Menampilkan para pakar sebagai pembicara antara lain Dr. H. Kurtubi SE, Prof. Dr. Juanjir Sumardi, SH, MH, dan Dr. Ir. Muh Hanafi, IPM, MBA, dengan moderator RM. Wibawanto Nugroho Widodo, SE, MA.

Dalam kesempatan ini Dr. H. Kurtubi SE, yang juga dikenal pakar perminyakan, menegaskan bahwa dampak signifikan dari penerapan UU Migas No. 22/2001, terutama dalam hal penurunan eksplorasi migas. “Maka diperlukan , revisi regulasi ini,” seraya mengingatkan bahwa eksplorasi migas merupakan fondasi bagi keberlanjutan industri energi di Indonesia, karena tanpa adanya penemuan cadangan baru, produksi migas akan terus menurun seiring berkurangnya sumber yang ada.

“Penerapan UU Migas No. 22/2001telah menciptakan ketidakpastian hukum dan regulasi yang kaku, yang pada akhirnya menghambat investor untuk terlibat dalam eksplorasi baru. Ketidakpastian ini menyebabkan penurunan minat investasi, yang berdampak pada stagnasi di sektor energi,” tegas Dr. H. Kurtubi SE seraya menekankan bahwa revisi mendasar terhadap UU Migas No. 22/2001 diperlukan guna menciptakan iklim investasi yang lebih menarik, baik bagi investor domestik maupun asing.

Kurtubi juga mengingatkan bahwa Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan kekayaan alam Indonesia harus dikelola oleh negara demi kemakmuran rakyat. Namun, penerapan UU Migas No. 22/2001 memunculkan kekhawatiran bahwa pengelolaan sumber daya migas cenderung lebih berorientasi pada kepentingan swasta dan asing, yang berpotensi mengabaikan prinsip kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Kondisi ini menimbulkan perdebatan mengenai perlunya mengembalikan pengelolaan sektor migas sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945, yang menempatkan negara sebagai pengelola utama sumber daya alam demi kepentingan rakyat.

Sementara dalam kesempatan yang sama, Prof. Dr. Juanjir Sumardi, SH, MH yang dikenal selaku akademisi mengingatkan bahwa untuk mencapai ketahanan energi yang kuat, diperlukan diversifikasi sumber energi dan pengelolaan yang lebih efisien. Maka revisi terhadap regulasi, seperti UU Migas No. 22/2001, harus mencerminkan komitmen untuk memperkuat peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam eksplorasi dan pengelolaan energi, serta menciptakan iklim investasi yang kondusif.

“Maka dengan adanya reformasi yang signifikan, Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya di sektor energi global, sekaligus mengurangi risiko terjadinya krisis energi di masa depan. Langkah-langkah ini juga akan mendorong penemuan cadangan baru yang krusial,untuk mempertahankan ketahanan energi nasional dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan,” tegas Prof. Dr. Juanjir Sumardi.

Senada dengan hal itu, Dr. Ir. Muh Hanafi, IPM, MBA yang juga Wakil Ketua I ISC mengingatkan bahwa keberhasilan suatu negara sangat bergantung pada kualitas kebijakan publik yang diterapkan. Kebijakan yang efektif harus mencakup aspek komprehensif, inklusif, dan berkelanjutan agar dapat menyeimbangkan kebutuhan jangka pendek dan panjang. Dalam konteks kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan bangsa, kebijakan yang tepat akan memungkinkan negara bersaing di tingkat global dengan meningkatkan produktivitas dan inovasi.

“Negara yang tidak mampu mengoptimalkan produktivitas dan inovasi seringkali terjebak dalam “kutukan sumber daya alam,” di mana kelimpahan sumber daya tidak diolah dengan baik sehingga mengakibatkan ketergantungan dan stagnasi ekonomi,” tegas Dr. Ir. Muh Hanafi seraya menekankan bahwa hal ini menunjukkan pentingnya kebijakan yang berorientasi pada diversifikasi ekonomi, di mana sektor-sektor ekonomi tidak hanya bergantung pada sumber daya alam semata, melainkan dikembangkan melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan kapabilitas inovasi teknologi.

Sementara itu di celah-celah penutupan acara, Ketua Panitia DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, SSiT,. M.Mar, menjelaskan bahwa pembahasan mengenai ketahanan energi dan kebutuhan mendesak untuk merevisi kebijakan energi seperti UU Migas No. 22/2001 menjadi topik utama forum ini, mengundang para pemangku kepentingan dari pemerintah, akademisi, pengamat energi, BUMN, serta pelaku sektor swasta untuk membahas strategi kebijakan energi Indonesia.

“Foruk Diskusi ini juga dimaksudkan untuk rekomendasi agar Indonesia dapat mengatasi tantangan eksplorasi migas yang semakin menurun, dan mempercepat transisi menuju energi terbarukan untuk memperkuat ketahanan energi nasional,” jelas DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, SSiT,. M.Mar seraya menekakan bahwa forum seperti ini berperan penting dalam menyusun rekomendasi kebijakan yang komprehensif dan berkelanjutan.

Dalam forum ini Wakil Ketua II  Komjen Pol (Purn) Drs. Togar Manatar Sianipar, M.Si. Sedangkan dari ISC antara lain Ketua ISC Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri, Sekretaris ISC Laksda TNI (Purn) Dr. Drs. Surya Wiranto, SH., MH, Wakil Sekretaris ISC Dr. Dra. Nieta Hidayani, MBA, MM, dan segenap jajaran pengurus ISC. Dari Ketua Umum FSPPB  Arie Gumilar bersama jajarannya, juga hadir praktisi dan kalanga akademisi. * (Humas ISC

)

0Shares